Wednesday, August 21, 2019

Filsafat Ilmu Ekonomi


TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH FILSAFAT ILMU EKONOMI


PENDEKATAN FILSAFAT ILMU EKONOMI

Oleh
Gedion, S.Pd
Meriyanti, S.Pd

Dosen Pengampu
Prof. Dr. H. Mashudi, M.Pd






PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Filosofis ilmu ekonomi mungkin telah berkembang seiring dengan perjalanan sejarah hidup manusia seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx bahwa pangkal dari semua kegiatan manusia adalah hubungan produksi. Akan tetapi menurut Backhouse (2002), pembahasan ini baru mengemuka sejak aktivitas ekonomi menjadi objek kajian tersendiri di abad ke-18, misalnya dalam karya yang dikemukakan oleh Cantillon (1755), David Hume (1752), dan paling berpengaruh adalah karya Adam Smith, Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776). Pada masa- masa awal, ilmu ekonomi dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari moral science, sehingga pembahasan filosofisnya pun ditinjau dari perspektif filsafat moral2. Dalam konteks perkembangan ilmu ekonomi kontemporer, pembahasan aspek filosofis ilmu ekonomi semakin kompleks dengan berkembangnya beragam aliran pemikiran ekonomi3. Bahkan, kalaupun diklasifikasikan menjadi dua kelompok, orthodox dan mainstream, masing-masing kelompok tersebut masih memiliki ragam varian yang cukup banyak. Adanya keragaman ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para ekonom maupun filosof dalam membahas filsafat ilmu ekonomi.
Filsafat Ilmu Ekonomi meliputi pembahasan tentang aspek konseptual, metodologi, dan etika yang berkaitan dengan disiplin ilmu ekonomi (Hausman, 2008; Caldwell, 1993). Fokus utamanya adalah aspek metodologi dan epistemologi yang meliputi metode, konsep, dan teori yang dibangun oleh para ekonom untuk sampai pada yang disebut “science” tentang proses ekonomi. Filsafat ekonomi juga berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika menjadi bagian argumentasi dalam ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah apakah dimensi filsafat ilmu ekonomi tersebut menghasilkan pengetahuan empiris yang menjadi dasar teoritis ilmu ekonomi sehingga dapat diklaim bahwa filsafat ekonomi adalah bagian integral dari filsafat ilmu pengetahuan. Pembahasan tentang pertanyaan ini telah berlangsung lama dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan ekonom dan filosof hingga saat ini


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Filsafat Ilmu Ekonomi
Perdebatan tentang apakah filsafat ekonomi mengikuti pola metodologis dan epistemologis seperti halnya dalam filsafat ilmu atau memiliki pola tertentu yang terpisah sudah terjadi sejak abad ke 18, dan menjadi lebih intensif di tahun     1970-an terutama ketika ideologi Kuhnsian, Popperian, dan Lakatonian masuk dalam pembahasan tentang ekonomi (Blaugh, 1992). Banyak yang mencoba menjelaskan perdebatan tersebut dan hasilnya lebih condong kepada pandangan bahwa filsafat ekonomi memiliki klaim yang kuat sebagai bagian dari filsafat ilmu pengetahuan5. Sekalipun demikian, terdapat beberapa pandangan minor yang tetap ‘menyangsikan” kesimpulan tersebut, dan memandang bahwa pembahasan tentang filsafat ekonomi harus dilakukan secara terpisah dari filsafat ilmu pengetahuan, misalnya Hutchison (2000). Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan perdebatan tersebut dan menguraikan tantangan yang dihadapi filsafat ilmu ekonomi dalam mengokohkan klaim ‘scientific’ ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan. Bagian pertama akan menjelaskan tentang permasalahan metodologis dan epistemologis yang dihadapi ilmu ekonomi dalam perspektif ilmu pengetahuan sebagai dasar pembahasan. Bagian kedua adalah tinjauan literatur tentang filsafat ekonomi dan sejumlah perdebatan yang terjadi di kalangan ekonom dan filosof terkait hubungan antara filsafat ekonomi dan filsafat ilmu pengetahuan. Bagian ketiga adalah kesimpulan yang sekaligus juga menyajikan pandangan pribadi penulis tentang keterkaitan filsafat ekonomi dan filsafat ilmu pengetahuan.
B.  Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Perkembangan Ilmu Ekonomi
      Filsafat dan Ilmu adalah dua kata yang saling berkaitan baik secara substansial maupun historis. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan pembahasan bagaimana disiplin ilmu tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Dengan kata lain, filsafat ilmu pengetahuan merupakan telaah secara filsafati yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat sains empirikal, seperti (1) Obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?  Pertanyaan –  pertanyaan ini disebut landasan ontologis, (2) Bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? Cara/ teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Pertanyaan-pertanyaan ini disebut landasan epistemologis, (3) Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional? pertanyaan-pertanyaan ini adalah landasan aksiologis. Jika didefinisikan, filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang membahas tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, pengetahuan, metode-metode ilmiah, serta sikap etis yang harus dikembangkan oleh para ilmuwan, yang berfungsi sebagai sarana pengujian penalaran sains; merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan; serta memberikan landasan logis terhadap metode keilmuan (Judistira, 2006; Salmon et. al., 1992; dan www.wikipedia.org).
C.  Permasalahan dalam aspek metodologis dalam ilmu ekonomi
       Pembahasan tentang ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan berkaitan dengan apakah ilmu ekonomi memiliki klaim kuat sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu yang memiliki aspek metodologis dan epistemologis yang menghasilkan pengetahuan empiris. Aspek kritis yang menjadi perdebatan tentang hal tersebut adalah terkait dengan struktur dan justifikasi teori dalam ilmu ekonomi. Secara umum, terdapat 6 (enam) permasalahan utama yang terkait dengan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, yaitu (Hausman, 2008):
1.      Positive versus normative economics. Eksistensi pertimbangan normatif dalam ekonomi menimbulkan pertanyaan metodologis dari perpektif ilmu pengetahuan yang bersifat positivisme. Sebagian besar ekonom mencoba mengatasi persoalan tersebut dengan melakukan pembahasan ilmu ekonomi dalam bentuk positive science untuk menghindari bias metodologis. Akan tetapi, banyak kalangan menilai bahwa pendekatan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan cenderung lemah karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif (Mongin, 2006; Haussman and McPherson, 2006; Machlup, 1969; Marwel and Ames, 1981; Frank et al, 1993; Marx, 1867).
2.      Reasons versus causes. Teori ekonomi mengasumsikan bahwa individu bertindak rasional dan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan alasan-alasan tertentu. Alasan-alasan ini menjadi justifikasi mengapa seseorang melakukan pilihan tertentu, dan alasan tersebut harus dimengerti oleh individu yang bersangkutan. Asumsi ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya kemungkinan bahwa individu bertindak karena adanya hubungan kausal, yang disebabkan oleh kondisi tertentu sehingga tidak bertindak berdasarkan alasan rasional. Individu yang bertindak rasional didasari oleh asumsi bahwa mereka memiliki informasi yang sempurna terhadap sejumlah fakta yang relevan dengan pilihan-pilihan yang dibuatnya. Akan tetapi, dalam kenyataannya kondisi ini tidak pernah terjadi, dan hal tersebut menjelaskan mengapa ilmu ekonomi tidak parallel atau berbeda dengan ilmu alam (Buchanan and Vanberg, 1989, Von Mises, 1981).
3.      Social Scientific Naturalism. Dari semua ilmu sosial, ilmu ekonomi adalah yang paling mirip dengan ilmu alam. Pandangan untuk membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam umumnya terkait dengan tiga pertanyaan, yaitu (1) apakah ada perbedaan fundamental antara struktur dan konsep dalam hal teori dan penjelasan pada ilmu alam dengan ilmu sosial? (masalah ini terkait dengan reasons versus causes seperti telah diuraikan sebelumnya), (2) Apakah ada perbedaan fundamental dalam tujuan antara ilmu ekonomi dan ilmu alam? Sejumlah kalangan menyatakan bahwa ilmu ekonomi memiliki tujuan untuk memberikan penjelasan mengapa suatu fenomena terjadi sehingga menciptakan adanya pengertian dan respon terhadap fenomena tersebut. Tujuan ini mengakibatkan adanya unsur subjektivitas, yang tidak terjadi dalam ilmu alam, (3) Pentingnya pilihan manusia (atau mungkin free will), menimbulkan pertanyaan apakah fenomena sosial terlalu tidak teratur sehingga sulit digambarkan dalam suatu kerangka hukum dan teori? Dengan karakter manusia yang bersifat free will, mungkin perilaku manusia sulit diprediksi. Akan tetapi, dalam kenyataannya banyak perilaku manusia yang menunjukkan keteraturan, disamping adanya ketidakteraturan. Kondisi ini juga terjadi pada ilmu alam yang memiliki banyak ketidakteraturan dalam hubungan kausal.
4.      Abstraction, idealization, and ceteris paribus clasuses in economics. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, ilmu ekonomi banyak menimbulkan pertanyaan terkait dengan adanya abstraksi, idealiasasi, dan klaim kebenaran teori yang ceteris paribus. Sejumlah pertanyaan mengemuka, tentang seberapa banyak simplikasi, idealisasi, dan abtraksi dapat dilegitimasi? Bagaimana legitimasi asumsi ceteris paribus dalam ilmu pengetahuan? Sejumlah pertanyaan tersebut telah menjadi perdebatan metodologis yang mempertanyakan “scientific” dari ilmu ekonomi.
5.      Causation in economics and econometrics. Generalisasi dalam ilmu ekonomi didasarkan pada hubungan kausal, misalkan tentang hukum permintaan. Hubungan kausal ini juga dapat diidentifikasi dengan ekonometrika. Akan tetapi, terdapat kemungkinan adanya pertentangan analisis hubungan kausal antara yang dihasilkan oleh perubahan ekonomi dan komparatif statik terkait dengan keseimbangan ekonomi, sehingga menimbulkan pertanyaan metodologis tentang hubungan kausal mana yang akan dipilih.
6.      Structure and strategy of economics. Perdebatan aspek metodologis terkait dengan aspek ini adalah masuknya filosofi Kuhnsian (Kuhn, 1970) dan Lakatonian (Lakatos, 1970) dalam pembahasan tentang ekonomi.
       Permasalahan-permasalan yang terkait dengan aspek metodologis tersebut telah menimbulkan banyak perdebatan tentang klaim “scientific” ilmu ekonomi dalam hal generalisasi. Bolehkah suatu ilmu pengetahuan menghasilkan generalisasi yang salah? Jika klaim tersebut tidak dapat digeneralisasi secara universal, apa dasar logis yang mendasarinya? Bagaimana mengetahui klaim yang dihasilkan dari proses tersebut salah atau bagaimana pengujian yang harus dilakukan sehingga klaim tersebut dapat diterima atau ditolak? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi topik intensif yang terus mengemuka hingga saat ini.
D.  Upaya Mengatasi Permasalahan Metodologis dan Epistemologis
       Dalam membuktikan klaimnya sebagai ilmu pengetahuan, sejumlah ekonom telah berupaya mengatasi permasalahan metodologis tersebut untuk menunjukkan “scientific” ilmu ekonomi. Dari era Nassau Senior dan John Stuart Mill di tahun 1830-an hingga era Lionel Robbins di tahun 1930-an, terdapat konsepsi dominan di kalangan para ekonom bahwa premis atau postulat yang di kemudian hari lebih populer disebut dengan asumsi adalah cenderung dipandang sebagai sesuatu kebenaran yang mampu menggambarkan hubungan kausal dalam aktivitas ekonomi. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan metode a priori. Perkembangan selanjutnya, pendekatan Mill dinilai memiliki banyak kelemahan terutama terkait dengan prediksi teori ekonomi yang tidak selalu didukung oleh bukti empiris karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Mill bahwa secara abstrak suatu teori ekonomi mungkin benar jika faktor pengganggu lainnya diabaikan. Dalam kenyataannya, faktor penganggu tersebut selalu ada dan memberikan pengaruh terhadap hubungan kausal yang terjadi. Akibatnya, konfirmasi terhadap teori ekonomi condong pada bahwa premis tersebut benar dibandingkan dengan memeriksa implikasi prediksi teori tersebut terhadap bukti empiris. Selanjutnya berkembang pendekatan lain, misalnya yang dilakukan ilmuwan Jerman dan Inggris (di abad ke-19) dan ilmuwan Amerika (di awal abad ke-20), yang berargumen bahwa premis-premis ekonomi yang berkembang tidak selalu mencerminkan realitas, sehingga diperlukan banyak studi empiris dan generalisasi hanya dapat dilakukan secara bertahap berdasarkan temuan yang diperoleh. Perdebatan tentang dua kutub ini terus mengemuka dan tidak menemukan titik temu (Hausman, 2008).
1.      Perkembangan
       Di tahun 1950-an, perkembangan tentang kutub yang mendukung implikasi prediksi lebih mengemuka dibandingkan dengan asumsi atau kutub yang mengusung tradisi Millian. Perkembangan baru ini dipelopori oleh Machlup (1955) dan Friedman (1953) yang menyatakan bahwa asumsi-asumsi yang mendasari model ekonomi tidak harus realistis, yang terpenting adalah kemampuan dari implikasi model tersebut dalam memprediksi kenyataan. Selama lebih dari dua dekade, pandangan Friedman banyak mendominasi tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi. Perkembangan baru dalam filsafat ekonomi terjadi di tahun 1970-an, ketika filosofi Popperian, Lakatonian, dan Kuhnsian masuk dalam pembahasan tentang ekonomi (Hausman, 2008). Popperian menolak metode induksi dan memperkenalkan metode deduksi. Sekilas, pendekatan Popperian tersebut memberikan ruang tentang legitimasi simplifikasi atau bagaimana teori ekonomi dapat menemukan klaim scientific-nya. Akan tetapi, filosofi Popperian yang mensyaratkan bahwa formulasi teori harus logically falsifiable dan testable, menyebabkan adanya kemungkinan penolakan terhadap sebagian besar bahkan seluruh teori ekonomi karena adanya ceteris paribus dan asumsi-asumsi yang sering kurang realistis yang mendasari teori ekonomi (Marchi, 1988; Caldwell, 1991; Boland, 1992). Kelemahan ini selanjutnya diatasi oleh Imre Lakatos (1970) yang kemudian dikenal dengan Lakatonian, yang memperkenalkan konsep theoretically progressive. Lakatos menekankan pada appraising historical series of theories yang berbeda dengan Popperian yang bersifat appraising theories. Akibatnya, pandangan Lakatos lebih banyak diterima pada pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi dibandingkan dengan Popperian. Sekalipun demikian, pandangan Lakatos ini belum dapat menyajikan penjelasan yang memuaskan tentang aspek metodologis dan empirikal untuk menyatakan klaim tentang “scientific” ilmu ekonomi sekuat klaim “scientific” dalam ilmu alam.
2.      Persoalan
       Sulitnya persoalan simplikasi dalam ilmu ekonomi memunculkan sejumlah pandangan radikal diantaranya adalah bahwa ilmu ekonomi memang tidak dapat melewati persoalan metodologis tersebut. Pelopor pandangan ini adalah Alexander Rosenberg (1992) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi hanya dapat menghasilkan prediksi umum yang tidak tepat, dan tidak dapat menghasilkan perubahan. Lebih lanjut, menurut Rosenberg teori ekonomi hanya bernilai sebagai matematika terapan bukan sebagai teori empiris. Pandangan ini relatif memiliki dasar argumentatif mengingat ilmu ekonomi tidak dapat mencapai kemajuan sebagaimana yang dilakukan oleh ilmu alam. Akan tetapi, banyak kalangan menilai bahwa klaim ilmu ekonomi tidak menghasilkan kemajuan dan prediksi kuantitatif cenderung lemah. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah kemampuan para ekonom kontemporer yang dapat memprediksi harga saham lebih baik dibandingkan dengan para ekonom di masa lalu. Pandangan radikal lainnya yang berlawanan dengan Rosenberg adalah Deidre McCloskey’s (1994) yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi tidak harus memenuhi sejumlah standar metodologis tertentu. Menurut McCloskey’s, satu-satunya kriteria yang relevan untuk menilai praktik dan produk yang dihasilkan oleh ilmu ekonomi adalah apa yang diterima oleh praktisi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi dapat mengabaikan standar metodologis yang dikemukakan oleh para filosof. Pandangan ini dikenal dengan istilah ekonomi retoris. Banyak karya berharga dan berpengaruh yang dihasilkan oleh McCloskey’s dengan pandangan ekonomi retoris ini. Akan tetapi masalah yang dihadapi adalah kesulitan untuk mempertahankan argumentasi-argumentasi dalam studi tersebut karena tidak memiliki standar epistemologis.
3.      Aspek
       Varian lain tentang pembahasan aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah realisme. Terdapat dua bentuk pandangan realisme yang berkembang yaitu (1) Pandangan realism yang dikemukakan oleh Uskali Maki (2007), yang mengeksplorasi beragam realisme implisit dalam pernyataan metodologis dan bangunan teoritis yang dikemukakan oleh para ekonom, (2) Pandangan realisme yang dikemukakan oleh Tony Lawson (1997) dan Roy Bhaskar (1978) yang menyatakan bahwa seseorang yang menelusuri kekurangan yang terdapat dalam ilmu ekonomi tidak cukup hanya dengan ontologi. Menurut Lawson, fenomena ekonomi yang sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor yang berbeda, dan seseorang dapat mencapai pengetahuan ilmiah hanya berdasarkan mekanisme dan kecenderungan yang berkaitan dengan variabel yang diobservasinya.
4.      Sejarah ilmu ekonomi
      Sepanjang sejarahnya, ilmu ekonomi telah menjadi subyek kritik dari aspek sosiologis dan metodologis. Kritik sosiologis misalnya dikemukakan oleh Karl Marx yang mengkritik ekonomi klasik. Menurut Marx, ekonomi klasik memiliki sejumlah bias ideologis dalam teori dan kebijakan ekonomi-nya sehingga akan selalu memunculkan kritik yang takkan pernah berakhir. Pengaruh ilmu sosiologi dan ilmu sosial lainnya yang dihadapkan pada kesulitan metodologis dalam ilmu ekonomi telah memunculkan pandangan untuk merasionalisasi perilaku ekonomi berdasarkan refleksi metodologis dari perpektif sosiologis. Pelopor pandangan ini antara lain D. Wade Hands (2001), Hands and Mirowski (1998), Philip Mirowski (2002), dan E. Roy Weintraub (1991). Sekalipun demikian, seberapa baik pandangan ini masih banyak menimbulkan perdebatan. Perkembangan lainnya terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi adalah penerapan pendekatan strukturalis teori ilmiah dalam ilmu ekonomi, yang antara lain dikemukakan oleh Sneed (1971), Stegmüller et al (1981), dan Balzer and Hamminga (1989). Pendekatan ini mengemukakan sejumlah pandangan terkait adanya keragaman dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan dan menilai teori ekonomi. Selama tidak ada konsensus terkait aspek metodologis dalam ilmu ekonomi, maka ketika praktisi ekonomi tidak setuju patut dipertanyakan apakah mereka yang memiliki memahami filosofi tetapi kurang memiliki pengetahuan ekonomi dapat menyelesaikan masalah tersebut. Oleh karenanya, menurut pandangan ini mereka yang merefleksikan metodologi ekonomi harus lebih banyak memainkan peran dibandingkan dengan pihak lainnya.
5.      Masalah metodologis
       Masalah metodologis lainnya dalam ilmu ekonomi adalah penggunaan pendekatan eksperimental dan non-eksperimental. Kombinasi pendekatan tersebut dinilai dapat menjembatani dikotomi antara teori ekonomi dan bukti empiris. Akan tetapi, sejumlah kalangan masih menyangsikan apakah pendekatan eksperimental dapat digeneralisasi dalam konteks non-eksperimental, termasuk kemungkinan apakah pendekatan eksperimental dapat dilakukan (Guala, 2005; Kagel and Roth, 2008).
E.  Normative Economics
       Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sejumlah kalangan berpendapat bahwa sulit memisahkan pembahasan ilmu ekonomi dengan membedakan aspek positivisme dan aspek normatif karena selama teori ekonomi berkaitan dengan kepentingan individu dan atau masyarakat, maka pasti mengandung aspek normatif. Kondisi ini membawa konsekuensi pada perlunya pemahaman tentang pembahasan ekonomi normatif yang berkaitan dengan bagaimana nilai-nilai etika dan moral menjadi bagian argumentasi dalam membangun ilmu ekonomi seperti kesejahteraan, keadilan, dan adanya trade-off diantara pilihan-pilihan yang tersedia.
       Pertanyaan sentral dalam filsafat moral adalah menentukan secara intrinsik hal-hal apa yang baik bagi manusia. Pembahasan topik ini mendapatkan tempat yang utama mengingat pandangan moral menempatkan kesejahteraan manusia sebagai sesuatu yang penting. Konsepsi ini juga berlaku pada pandangan utilitarian maupun non utilitarian yang memiliki tujuan memaksimumkan kepuasan individu. Dalam konteks ini, ekonomi positif dapat dipertemukan dengan ekonomi normatif dengan menyamakan kesejahteraan dalam ekonomi normatif dengan kepuasan preferensi dalam ekonomi positif. Akan tetapi, terdapat sejumlah kalangan yang keberatan tentang kesamaan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi. Menurut pandangan ini, kepuasan preferensi dapat didasari oleh suatu keyakinan yang keliru dari pengalaman masa lalu atau distorsi psikologis sehingga sulit melakukan perbandingan kesejahteraan antar individu. Selain itu, menyamakan kesejahteraan dengan kepuasan preferensi berarti menempatkan kesejahteraan individu tertentu berdasarkan preferensi individu lain, sementara kesejahteraan cenderung pada suatu konsensus kolektif tertentu yang disepakati. Diantara ekonom yang mendukung kesamaan antara kesejahteraan dengan kepuasan preferensi adalah Amartya Sen (1992). Sekalipun demikian, sebagian besar ekonom berargumen bahwa kepuasan preferensi bukan proksi empiris yang baik untuk menggambarkan kesejahteraan, walaupun mereka beranggapan bahwa kesejahteraan dapat mencerminkan kepuasan preferensi.
       Konsepsi lainnya dalam ekonomi normatif adalah efisiensi. Konsepsi ini memiliki pembahasan yang cukup luas dalam ekonomi dalam hubungannya dengan kesejahteraan. Dua teorema tentang ekonomi kesejahteraan, yaitu first fundamental theorem of welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum (alokasi sumber daya yang efisien) dalam pasar yang sempurna. Teorema ini merepresentasikan konsepsi Adam Smith tentang invisible hand. Dalam kenyataannya, pasar yang sempurna tidak pernah terjadi atau terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Eksistensi dua teorema telah menjadi bahan perdebatan dalam menentukan apakah akan menerapkan mekanisme pasar secara total (laissez-faire) atau kalaupun adan intervensi pemerintah, seberapa besar intervensi tersebut. Pembahasan lainnya terkait dengan efisiensi adalah analisis biaya dan manfaat yang sering digunakan sebagai instrument praktis dalam analisis kebijakan (Adler and Posner, 2006).
       Sekalipun ekonomi kesejahteraan dan efisiensi mendominasi ekonomi normatif, para ekonom tidak hanya memfokukan pada pembahasan tersebut. Melalui kolaborasi dengan para filosof, ekonomi normatif telah menghasilkan sejumlah kontribusi penting dalam karya kontemporer di bidang etika dan filsafat normatif dalam ilmu sosial dan politik. Diantaranya adalah teori pilihan sosial dan teori permainan. Selain itu, ekonom dan filosof juga berhasil menyajikan karakteristik formal tentang kebebasan yang menunjang analisis ekonomi. Sebagian lainnya juga berhasil mengembangkan karakterisasi formal tentang kesetaraan sumber daya, kesempatan, dan outcome serta telah menganalisis kondisi yang memungkinkan memisahkan tanggung jawab individu dan sosial terhadap kesenjangan. Beberapa ekonom lainnya yang juga banyak memberikan kontribusi penting adalah Roemer, Amartya Sen, dan Nussbaum (Hausman, 2008). Singkatnya, ada interaksi yang intensif antara ekonomi normatif dan filsafat moral.Meski dimiliki oleh semua orang, kadar kekuatan intuisi ini tentu saja berbeda-beda. Ada yang merasakannya sangat kuat, ada juda yang samar-samar. Biasanya kaum wanitalah yang intuisinya relative lebih peka. Keberadan intuisi sebenernya tidak jauh berbeda dengan bintang dilangit, ketika siang hari kita tidak bisa melihat keberadaannya karena terangnya cahaya matahari membuat mata kita tergoda untuk memandang objek yang lain. Tapi saat datang kegelapan barulah keberadaan bintang-bintang tersebut dapat kita lihat karena objek yang lain tidak terlihat. Dengan kata lain,untuk merasakan intuisi sebagai kekuatan terselubung, dibutuhkan situasi yang khusus, yaitu ketika mata batin lebih terfokus karena tidak terganggu oleh objek penglihatan yang lain. Namun focus dan tidaknya kekuatan itu salalu ada dalam diri setiap orang. Tinggal bagaimana menyelaminya untuk kemudian memanfaatkannya dalam kehidupan.

F.    Mengasah intuisi
       Intuisi merupakan pengetahuan yang bergerak antara rasional dan literal. Sehingga untuk memahaminya, tidak cukup hanya menggunakan kategori akal. Tetapi harus memiliki keyakinan bahwa semua keyakinan dimuka bumi tidak terlepas dari sunatullah. Proses berlangsungnya sunatullah itu melewati beberapa tahapan yang sudah pasti terjadi sebelum sampai pada kejadianya itu sendiri. Direntang waktu inilah lahir kekuatan alam bawah sadar manusia yang disebut intuisi. Cara untuk memberdayakan daya intuisi agar berfanfaat dalam kehidupan adalah.
1.      Meyakini dan menghargai intuisi
       Keyakinan merupakan awal dari segalanya. Dengan meyakini bahwa anda mampu dan mempunyai intuisi, serta meyakini kalau anda mampu mengetuk dan berniat mengembangkanya, maka intuisipun akan berkembang sebagaimana anda harapkan serta memberikan informasi dan hal-hal lain yang bermanfaat dalam kehidupan.
2.      Meningkatkan spiritual
       Intuisi bergerak antara rasional dan literal (sesuatu yang tidak dapat dibayangkan). Sehingga untuk mempertajam intuisi, kemampuan yang ada pada diri kita saja tidak cukup dan perlu campur tangan pemilik kehidupan. Dengan mendekatkan diri kepada sang pencipta, ibaratnya kita memasang radar untuk menangkap dan mendeteksi isyarat-isyarat yang datang dari langit. Bagi umat islam bisa melakukan kegiatan kerohanian, salah satunya adalah dengan berzikir. Sementara bagi umat Kristen dapat melakukan kegiatan antara lain melantunkan lagu-lagu pujian, doa. Sedangkan bagi penganut kepercayaan lain dapat melakukan latihan pernafasan atau bermeditasi.
3.      Pengendalian emosi
       Indera keemam akan dapat berfungsi dengan baik apabila emosi senantiasa terkontrol. Memberdayakan intuisi tidak berbeda halnya dengan mengaktifkan indera tidak kasat mata. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari diusahakan semaksimal mungkin agar emosi dapat selalu terjaga. Untuk menjaganya diupayakan agar kerja pikiran dan perasaan selalu seimbang.






4.      Mengisi jiwa
       Menghayati perasaan dan senantiasa belajar untuk membaca fenomena-fenomena yang terjadi disekitarnya akan memiliki kepedulian yang lebih dalam memperhatikan keadaan kejiwaan orang lain. Dan juga peka membaca perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya. Kepekaan jiwa dan perasaan sangat penting untuk dimiliki, karena intuisi sering dating lewat tanda-tanda ,perlambang-perlambang yang membutuhkan kepekaan perasaan untuk bisa menangkap dan menterjemahkannya.
5.      Permainan mengendalikan indera mistik.
     Salah satu cara untuk melatih dan mengasah indera mistik yaitu dengan melakukan permainan sederhana. Permainan tersebut dilakukan secara rutin setiap hari dengan meluangkan waktu sekitar seperempat jam. Caranya adalah dengan menuliskan keinginan, harapan, atau apa saja yang sangat diidam-idamkan dalam sebuah buku.yang harus ditulis adalah sesuatu yang benar-benar keluar dari dalam hati, dan bukan sekedar rekaan saja. Keinginan tersebut dapat berupa benda , atau yang bersifat non materiil. Setelah itu bayangkan bahwa keinginan tersebut benar-benar tercapai, tanpa berpikir bagaimana cara mencapaainya. Baru kemudian buku ditutup dan kerjakan aktifitas rutin sehari-hari.lakukan hal tersebut setiap hari selama sebulan lamanya. Setelah satu bulan buka kembali buku anda dan bacalah keinginan dan harapan yang telah anda tulis. Maka anda akan menemukan sebagian dari keinginan tersebut dapat tercapai.
6.      Membaca mimpi
       Biasanya mimpi datang dalam bahasa atau perlambang yang dapat dimengerti, dan intuisi sering hadir dalam wujud mimpi. Karena itu cobalah untuk belajar membaca dan memperhatikan tema-tema besar apa yang muncul dalam mimpi anda.

G.  Lahirnya Epistimologi Intuisionisme dan Tokoh Penganutnya
       Intuisionisme muncul pada permulaan tahun 1920-an dalam kaitan dengan polemik tentang prinsip-prinsip teoritis matematika. Menurut intuisionisme, pemikiran matematis yang tepat/pasti dilandasi intuisi konstruksi logis, semua matematika dilandasi intuisi semacam ini. Dan karenanya, objek-objek matematis tidak ada secara terpisah dari pasangan-pasangan logisnya. Untuk menghindari paradoks-paradoks, bukti matematis harus didasarkan logika ketat, penjelasan intuitif. Bukti ini benar jikalau seseorang mengerti secara intuitif setiap tahapnya, yang dimulai dari titik-titik keberangkatan dan aturan-aturan penalaran. Itulah sebabnya dapat diterapkan hukum-hukum logis dan aturan-aturan pada akhirnya diputuskan oleh intuisi [4]. 
Aliran intuisi ini lahir sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan empirisme, tokoh aliran ini adalah Henri Bergson (1854-1941). Henri Bergson berpendapat bahwa tidak hanya indera yang terbatas, tetapi akalpun demikian, objek-objek yang kita tangkap itu selalu berubah.
       Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa indera dan akal memiliki keterbatasan dalam memahami suatu objek. Indera dan akal dapat memahami suatu objek jika ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut. Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatakan melalui proses penalaran tertentu. Ini merupakan penalaran hasil evolusi pemahaman tertinggi dan intuisi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran.
       Bagi intuisionisme, pengalaman lain (pengalaman bathiniah) disamping pengalaman yang dihayati melalui indera. Tesa yang dikembangkan oleh paham ini ternyata memiliki sisi yang memberatkan melalui penerjemahan kedalam simbol-simbol, sehingga kita akan berbicara mengenai pengetahuan yang sifatnya subjektif.
      Seseorang yang pemikirannya terpusat pada suatu masalah, tiba-tiba saja kita menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang berlaku, tiba-tiba saja sudah sampai pada suatu kesimpulan (Jawaban) suatu permasalahan yang dipikirkan yang artinya intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar.
      Suatu masalah yang sedang kita pikirkan yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba muncul dibenak kita lengkap dengan jawabannya, kita merasa yakin bahwa itulah jawaban yang kita cari, namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya sampai di sana.
      Disini yang dimasukkan intuisi bukan intuisi secara dalam arti biasa, melainkan tindakan-tindakan pengetahuan yang lebih tinggi yang sungguh-sungguh atau diandaikan mendekati kesiapan dan kepenuhan intuisi rohani. Pendekatan semacam ini kurang lebih terjadi dalam pemahaman kreatif mengenai hubungan-hubungan diantara hal-hal, khususnya kadang-kadang pendekatan ini terjadi dalam individu-individu yang mendapat karunia yang tinggi. Namun demikian, sebagian besar intuisi ini mengandaikan keakraban dengan obyek dalam waktu lama dan melalui pertimbangan, dan karenanya intuisi harus dibenarkan melalui pemikiran.[6] Pada akhirnya lahirlah aliran intuisi ini sebagai reaksi kritik terhadap aliran rasionalisme dan emperisme, tokoh aliran ini adalah Henri Bengson (1854-1941).[7] 


       Dari pendapat diatas dapat dipahami bahwa indra dan akal memiliki keterbatasan dalam memahami suatu objek. Indra dan akal juga dapat memahami suatu objek jika ia mengkonsentrasikan dirinya pada objek tersebut. Dan karenanya, mereduksi asal-usul realitasnya semata-mata pada kekuatan-kekuatan alamiah belaka.
1.      Penyangkalan Intuisi dan Otoritas
     Intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah[8]. rasionalisme dan emperisme bukanya menyangkal adanya otoritas dan intuisi, tetapi mereduksi otoritas dan intuisi kepada nalar dan pengalaman inderawi, adalah benar bahwa pada mulanya, otoritas dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang menalari dan mengalami, tetapi ini tidak kemudian berarti bahwa karena itu otoritas dan intuisi dapat direduksi kepada nalar dan pengalaman inderawi belaka. Jika kita menerima bahwa pada tingkat kesadaran manusia normal saja nalar dan pengalaman inderawi memiliki tingkat-tingkat yang batasnya dapat dikenali, maka tidak berdasarlah kalau menganggap bahwa tidak ada tingkat-tingkat pengalaman dan kesadaran manusia yang lebih tinggi, yang melampoi batas-batas akal dan pengalaman normal, dimana ada tingkatan intelektual dan ruhaniah, serta pengalaman yang batas-batasnya hanya di ketahui oleh tuhan.
      Mengenai Intuisi, kaum rasionalis, sekularis, emperis, dan psikolog pada umumnya telah menyempitkannya pada pengamatan inderawi dan menyimpulan logis yang telah amat lama direnungkan oleh pikiran, yang maknanya tiba-tiba saja terpahamkan, atau intuisi direduksi pada bangunan emosional dan indera laten, yang terbebas seketika dalam proses pemahaman yang tiba-tiba. Meskipun demikian, karena hepotesis dan teori, sains, menurut mereka, mensyaratkan adanya hubungan antara teori atau hipotesis tersebut dengan fakta hasil pengamatan, dan karena kecondongan terhadap salah satunya tidak ditentukan oleh suatu kriteria kebenaran objektif, maka kebenaran itu sendiri diupayakan sedemikian hingga dapat mendukung fakta-fakta, maka kecondongan demikian hanya ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif dan selera semata, yang bergantung pada kesepakatan umum.
      Kebergantungan terhadap kesepakatan umum ini telah menciptakan kecenderungan untuk menganggap masyarakat, ketimbang individu, sebagai yang tertinggi, nyata, dan memiliki otoritas. Paham konvensionalisme ini mereduksi semua bentuk institusional sebagai ciptaan dari apa yang disebut “pikiran kolektif” masyarakat. Ilmu sendiri, dan bahkan bahasa, tidak lebih dari sekadar ungkapan, dan alat pikiran kolektif yang tak bisa di perbincangkan, yang disebut masyarakat.
2.      Keraguan
      Keraguan akhirnya ditiggikan posisinya menjadi metode epistemologi. Melalui metode inilah kaum rasionalis dan sekolaris percaya bahwa mereka akan mencapai kebenaran. Yang mengantar mereka kepada kebenaran adalah hidayah (petunjuk Ilahi), bukan keraguan .
     Keraguan adalah pergerakan antara dua yang saling ketergantungan tanpa ada kecenderungan pada salah satunya. Ia merupakan keadaan yang tak bergerak di tengah-tengah dua hal yang bertentangan tanpa kecondongan hati terhadap salah satunya. Kalau hati lebih condong pada yang satu, bukan pada yang lainnya, sementara tidak menolak yang lainnya tersebut, maka keadaan ini dugaan. Jadi yang dipersepsi oleh indera-indera itu bukanlah realitas sesungguhnya dalam dirinya sendiri, melainkan Sesutu yang menyerupai atau merupakan representasi dari realitas itu, sebagaimana yang tertangkap oleh indera-indera itu. Yang disebut realitas lahiriah adalah sesuatu terhadapnya pancaindera yang melakukan kerja abstraksi, yang menghasilkan rupa. Demikian juga dalam hubungannya dengan makna, yang merupakan representasi realitas yang di tanamkan ke dalam diri, karena telah menyarikan dan membebaskan (melakukan abstraksi) aksiden-aksiden yang melekat padannya, yang bukan merupakan hakekatnya seperti kualitas, kuantitas,ruang, dan posisinya. Sedangkan makna adalah apa yang dipersepsikan oleh indera batin dari objek inderawi tanpa terlebih dahulu dipersepsi indera lahir.
3.      Akal dan Intuisi
     Mengenai “akal yang sehat” kita tidak memaksudkannya dalam artinya yang hanya terbatas pada unsur-unsur inderawi, atau pada fakultas mental yang secara logis mensistematisasi dan menafsirkan fakta-fakta pengalaman inderawi menjadi citra akliah yang dapat dipahami setelah melalui proses abstraksi, atau yang melaksanakan kerja abstraksi fakta-fakta dan data inderawi serta hubungan keduanya, dan mengaturnya dalam suatu aturan yang menghasilkan hukum-hukum, sehingga menjadikan alam dapat dipahami. Sesungguhnya, akal memang adalah semua ini, tetapi lebih dari itu, kita berpendapat bahwa semua ini hanyalah merupakan salah satu aspek akal. Dalam artinya yang lebih luas dan penuh, akal ini bekerja selaras,bukan bertentangan. Akal adalah suatu ubstansi ruganiah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu,yang merupakan tempat terjadinya intuisi.[9]. Eksistensi waktu dan intensitas waktu oleh manusia diukur dengan alat-alat yang berbeda, yaitu dengan “intelek” dan intuisi. Intelek mengana lisa, menghitung, dan mengukur, dan membandingkan. Intuisi adalah unsur yang menangkap kebebasan, elan vital dan keberlangsungan. “keberlangsungan”hanya dialami sebagai keseluruhan. Seperti suatu melodi didengar sebagai keseluruhan dan tidak sebagai deretan bunyi-bunyi yang terpisah satu sama lain. Intuisi membebaskan manusia dari ketertutupan waaktu matematis. Keberlangsungan tidak ada, melainkan menjadi keberlangsungan tidak dapat ditangkap dalam kategori-kategori tetap.
      Intuisi ini merupakan milik eksklusifia manusia. Berkat intuisinya dunia terbuka untuk manusia. Intuisi adalah kekuatan yang terus menerus mendorong kita untuk memperbaharui pola-pola statis. Itu juga berlaku untuk moral dan agama institusional.[10] Pengetahuan atau pemahaman instinktif, bawaan tanpa menggunakan alat indera,pengalaman biasa, dan rasio kita. Intuisi telah dianggap sember pengetahuan yang benar dan pasti, dan sebagai satu-satunya sumber pengatahuan tentang alam-alam wujud seperti tentang bentuk-bentuk ideal, tentang tuhan. Intuition (Kant) secaraumum, proses menginderai ,atau tidak menginderawan. Ada dua jenis Intuisi
1.      Intuisi emperis (a posteriori) melalui alat indera.
2.       Intuisi murni atau formal (a priori), yang menyusun apa yang diberikan oleh intuisi emperus menjadi sensasi yang memiliki kwalitas wujud dalam ruang dan waktu. Anschouung adalah kata bahasa jerman untuk intuisi yang digunakan oleh Kant, yang memiliki konotasi penampakan; persepsi; sesuatu yang hadir dan diorganisir pikiran secara langsung.
Sumber:https://www.tongkronganislami.net/makalah-filsafat epistemologi/


















BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

      Filsafat ilmu ekonomi berkaitan dengan pembahasan yang menjelaskan landasan yang mendasari konsepsi, metodologi, serta etika dalam disiplin ilmu ekonomi. Oleh karenanya, filsafat ekonomi merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat ilmu pengetahuan yang membahas bagaimana disiplin ilmu tertentu menghasilkan pengetahuan, memberikan penjelasan dan prediksi, serta pemahaman yang melatarbelakangi suatu disiplin ilmu. Sekalipun demikian, terdapat beragam perdebatan yang sangat intensif dan terus berkembang dalam upaya mengokohkan filsafat ilmu ekonomi dari perspektif filsafat ilmu pengetahuan khususnya terkait dengan aspek metodologis, rasionalitas, etika dan aspek normatif yang terdapat dalam ilmu ekonomi. Telaah yang lebih mendalam dalam aspek-aspek ini sangat diperlukan dalam mengokohkan  klaim “scientific” ilmu ekonomi di masa mendatang.
Saran
      Berdasarkan hasil yang sudah di bahas di atas, maka kritik dan saran sangat di butuhkan baik dari pembaca ataupun lainya, semoga ini bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkannya.